Semaan
adalah Tradisi membaca dan mendengarkan pembacaan Al-Qur'an di kalangan
masyarakat NU dan pesantren umumnya. Kata ‘semaan’ berasal dari bahasa
Arab sami’a-yasma’u, yang artinya mendengar.

Kata tersebut
diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “simaan” atau “simak”, dan
dalam bahasa Jawa disebut “semaan”. Dalam penggunaanya, kata ini tidak
diterapkan secara umum sesuai asal maknanya, tetapi digunakan secara
khusus kepada suatu aktivitas tertentu para santri atau masyarakat umum
yang membaca dan mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an.
Tidak
hanya sekadar membaca dan mendengar Al-Qur’an, penggunaan kata semaan
saat ini secara ketat disematkan kepada sejumlah orang yang membaca dan
menghafal Al-Qur’an dengan cara menghafalnya.
Dalam pengertian ini, semaan dapat dijadikan sebagai metode menghafal
Al-Qur’an, yaitu biasanya berkumpul minimal dua orang, atau bisa juga
lebih, yang salah satu di antara mereka ada yang membaca Al-Qur’an
(tanpa melihat teks ayat), sementara yang lainnya mendengar serta
menyimaknya.
Pendengar sangat bermanfaat dalam metode hafalan ini, sebab ia/mereka
bisa melakukan koreksi atau membenarkan jika pelantun Al-Qur’an itu
membacanya salah.
Ada pula pengertian bahwa semaan adalah
kegiatan membaca dan mendengarkan Al-Qur’an berjama’ah atau
bersama-sama, di mana dalam semaan itu juga selain mendengarkan
al-Qur’an, yang hadir (sami’in) juga bersama-sama melakukan ibadah
sholat wajib secara berjama’ah juga sholat-sholat sunnah yang lain, dari
ba’da subuh hingga khatamnya Al-Qur’an.
Dilihat dari akar
kesejarahannya, semaan Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari pencetusnya,
KH Chamim Djazuli atau yang bisa dikenal Gus Miek. Gus Miek adalah
tokoh sentral semaan Al-Qur’an yang pengikutnya ribuan orang. Gus Miek
memimpin Majelis Semaan, yang mula-mula didirikan di kampung Burengan
Kediri sekitar tahun 1986.
Mula-mula pengikutnya hanya 10-15
orang, tetapi terus berkembang menjadi ribuan. Tempatnya pun tidak hanya
di masjid atau dari rumah ke rumah, tetapi sudah memasuki wilayah
pendopo kabupaten, Kodam bahkan sampai ke Keraton Yogyakarta.
Gus
Miek yang mempunyai “kebiasaan” berkelana ke beberapa daerah, timbullah
gagasan semaan Al-Qur’an. Ungkapan Gus Miek yang terkenal, “Saya ingin
benar dan tidak terlalu banyak salah, maka saya ambil langkah silang
dengan menganjurkan pada para santri untuk berkumpul sebulan sekali,
mengobrol, guyonan santai, diiringi hiburan.
Syukur-syukur jika hiburan itu berbau ibadah yang menyentuh rahmat
dan nikmat Allah. Kebetulan saya menemukan pakem bahwa pertemuan seperti
itu jika dibarengi membaca dan mendengarkan Al-Qur’an, syukur-syukur
bisa dari awal sampai khatam, Allah akan memberikan rahmat dan
nikmat-Nya”.
Jadi menurut Gus Miek, secara batiniah semaan
Al-Qur’an adalah hiburan yang baik (hasanah). Selain itu juga merupakan
upaya pendekatan diri kepada Allah, dan sebagai tabungan di hari akhir. (
Sumber: Ensiklopedi NU)