Salah
satu kiai sepuh yang dimiliki NU yang masih tersisa adalah KH Sya’roni
Ahmadi dari Kudus, Jawa Tengah. Kini, di usinya yang ke-85, putra
menantu Almaghfurlah KH Arwani Amin, pendiri Pesantren Yanbu’ul Quran,
ini masih tetap mengisi pengajian tiap Jumat usai jamaah Shubuh di
Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Pengajian kitab Tafsir Showi yang dibaca
kiai kharismatik ini sangat diterima dan bahkan digemari tidak hanya
kalangan Nahdliyin, namun juga oleh warga Muhammadiyah.
Hal
tersebut terbukti dari banyaknya pengunjung dari berbagai daerah di
sekitar Kudus, semisal Jepara, Pati, Rembang, dan Demak. Selain itu,
juga banyak rombongan menggunakan bus pariwisata dari seantero
Jawa-Madura yang ketika rombongan ziarah Walisongo sengaja mengatur
jadwal agar sampai di kota Kudus pada Jumat dini hari.
Ulama
Kudus yang dikategorikan sebagai “Kiai Tanpa Pesantren” oleh Kepala
Puslitbang Penda Balitbang Diklat Kemenag RI Prof Abdurrahman Mas’ud PhD
ini termasuk kias khos yang duduk di Mustasyar PBNU. Ketika berkunjung
ke Kudus, kontributor NU Online Musthofa Asrori didampingi
seorang pengurus Mutakhorrijin Qudsiyyah yang di Semarang (Maqdis)
berkesempatan wawancara khusus dengan Mbah Sya’roni di kediamannya pada
Sabtu, (19/4) sore.
Bagaimana pandangan Ke-NU-an dan pemikiran
kiai flamboyan penggila bola yang hafal nama-nama pemain bola
mancanegara ini? Berikut cuplikan wawancara singkat NU Online dengan
guru besar Qiraat Sab’ah (Bacaan Tujuh) yang juga hafal Alquran 30 juz itu.
Bagaimana pandangan Mbah Sya’roni tentang NU masa kini?
Kembali
kepada khittah, pandangan secara umum NU sudah baik. Cuma sepeninggal
Kiai Sahal, khittah-nya jadi agak kurang. Kalau Kiai Sahal kan
khittah-nya kencang. Meski demikian, sekarang lumayan bagus setelah Gus
Mus bersedia maju. Saya berpikir, daripada yang lain masih mendingan Gus
Mus.
Mengapa begitu, Kiai?
Jadi, waktu
menanggapi masalah Pemilu dan soal caleg-caleg DPR itu sikap Gus Mus
sudah tepat. Beliau menganjurkan warga NU supaya ikut mencoblos, karena
ini adalah tugas kita sebagai warga negara Indonesia tiap lima tahun
sekali.
Tapi, saya sendiri waktu nyoblos itu ya ndak bisa
sendirian, mas. Jadi, saya pamit (baca: izin) kepada panitia pemilu
bahwa pendengaran saya sudah berkurang, saya masuk TPS boleh ndak ditemani cucu saya? Kalau ndak boleh
saya pulang. Lalu, petugas menjawab. Oo.. boleh, Pak. Lalu, saya buka
empat lembar saya pilih nomor ini mana begitu. Jadi, saya di(boleh)kan nyoblos.
Memangnya usia Mbah yai sekarang berapa?
Kulo nembe wolu gangsal (saya baru 85 tahun). Makanya, tadi saya bilang ke sampean kalau saya diajak komunikasi itu kurang jelas.
Dokter
saya pribadi, Dokter Zakir, suatu hari duduk di ruang kerjanya. Lalu,
saya bilang: Kir, ini pendengaran saya kok kurang banget. Oo.. itu
normal, Pak. Lho, normal gimana? Kalau orang setua bapak pendengarannya
masih tajam berarti nggak normal. (Mbah Sya’roni tertawa
terkekeh-kekeh).
Nah, kembali ke NU, Mbah. Bagaimana pandangan dan saran Mbah Sya’roni bagi kepengurusan PBNU yang sekarang dipimpin Gus Mus?
Ya, harus ala Gus Mus. Tidak bisa ala Kiai Sahal. Gus Mus kan bisa membat mentul (baca: bermanuver). Kalau Kiai Sahal kan kencang. Gus Mus bisa menggak-menggok sithik (belak-belok sedikit). Udah itu saja cukup.
Mbah Sya’roni ingin mengatakan Gus Mus luwes?
Luwes bagi orang-orang yang senang, yang kurang senang nyebutnya vivere pericoloso (nyerempet-nyerempet bahaya). Hahaa.. Tapi ya itu tadi, Gus Mus masih bagus dari yang lain.
Nasehat Mbah Sya’roni kepada generasi dan kader muda NU? Khususnya menyambut 100 tahun NU pada 2026.
Yang
penting, kita harus kuat ke-NU-annya. Sebetulnya, NU dan Muhammadiyah
(itu) sama. Nanti saya beri keterangan (baca: penjelasan). Jadi, Mbah
Hasyim dan Mbah Dahlan waktu masih santri mondoknya di tempat Mbah Kiai
Sholeh Darat Semarang. Bahkan hingga ke Mekah, beliau berdua juga
nyantri bareng. Oleh karena itu, pandangan Kiai Dahlan sama dengan NU.
Saya
punya kitab fiqih karangan Kiai Dahlan. Di kitab jilid tiga halaman 50
beliau menjelaskan fatwa penting dalam Bahasa Daerah. “Sholat
Tarawih yoiku sholat rong puluh rokaat, saben-saben rong rokaat kudu
salam. Wektune ono ing sasi poso sak wuse saben-saben sholat Isya’.”
(Sholat Tarawih itu adalah sholat 20 rekaat, tiap-tiap dua rekaat harus
salam. Waktunya di bulan puasa setelah sholat Isya’). Lho.. Kan jelas
tho..
Masih ada banyak lagi yang bisa dipelajari dari Kitab Fiqih
karya Mbah Dahlan ini. Nah, yang ‘nakal’ itu murid Kiai Dahlan yang
namanya Kiai Mas Mansur dari Surabaya. Jadi, setelah itu (baca: sejak
Mas Mansur jadi Ketua Umum Muhammadiyah) ada perubahan-perubahan. Dia
bikin yang namanya Majlis Tarjih. Lalu, keputusannya antara lain rekaat
sholat Tarawih yang 20 dengan dengan yang delapan rekaat itu lebih baik
yang delapan. Jadi, ditarjih. Nah, yang baru-baru justru mengatakan yang
20 rekaat itu bid’ah dhalalah.
Kiai Mas Mansur bilang, ini organisasi bukan organisasi Dahlaniy, tapi Muhammadiyah.
Lalu, bagaimana sikap kita terhadap mereka dan golongan lainnya?
Jadi
begini, suatu ketika, datang orang ke rumah. Lalu bercerita, bahwa di
Mekah imamnya ketika jamaah Maghrib, Isya’, dan Shubuh tidak membaca Basmalah.
Saya tanya, memang sampean nggak denger? Iya, saya tidak mendengarnya.
Langsung saya jawab, malah mereka kalau sholat Dhuhur dan Ashar tidak
membaca Fatihah. Lha kok bisa, Kiai? Ya karena saya tidak mendengarnya.
Nah, jadi tidak mendengar digunakan dalil untuk menyebut tidak baca.
Terima kasih atas nasehat dan petuahnya, Mbah. Mohon doanya..
Iya,
sama-sama. Tugas kalian sebagai anak muda NU meneruskan pencarian
kitab-kitab Fiqih karya Mbah Dahlan tersebut untuk meng-NU-kan
orang-orang Muhammadiyah.
SUMBER : http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,5-id,52041-lang,id-c,halaqoh-t,Mbah+Sya%E2%80%99roni++NU+dan+Muhammadiyah+itu+Sama-.phpx